Thursday 11 May 2017

Hakekat Syirik, Bentuk, dan Macamnya (Non-Wahabi) (1)



Syirik berasal dari bahasa Arab اَلشِّرْكُ (as-syirku) yang berarti bercampur, bergabung, atau bersekutu. Menurut bahasa, kata “as-syirku” ini adalah kata yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang terjadi antara dua pihak atau lebih.

Sedangkan secara terminologi, syirik adalah “menyekutukan Allah dengan selain-Nya”. Tetapi makna ini tidak akan jelas bagi Anda jika Anda tidak mempelajari ilmunya. Hal-hal apa saja yang termasuk syirik dan apa saja yang bukan, harus diketahui dengan ilmu, bukan main akal-akalan. Nah artikel ini akan membantu Anda untuk memahami bagaimana sesungguhnya yang dimaksud dengan syirik, apa yang termasuk syirik dan apa yang bukan, sesuai dengan ilmu dan dalil-dalilnya, insya Allah.


Satu hal yang harus dipahami oleh setiap muslim adalah bahwa syirik merupakan dosa besar, bahkan paling besar menurut ajaran Islam. Semua nabi dan rasul Allah membawa ajaran ini (membebaskan manusia dari syirik dan membawa mereka kepada tauhid).

Karena merupakan dosa besar, apalagi paling besar, maka setiap muslim harus berhati- hati dengan dosa ini, jangan sampai jatuh ke dalamnya. Tetapi selain itu—dan ini yang kadang seolah terlupakan oleh sebagian orang—jangan pula gampang-gampang saja menuduh orang lain telah berbuat syirik. Dosa zina saja yang levelnya di bawah syirik, tidak boleh kita sembarangan menuduh-nuduh orang,  apalagi dosa syirik.

Yang membuat prihatin pula adalah adanya orang-orang yang keliru di dalam tuduhan. Karena kurang memahami ilmunya, akhirnya suatu perbuatan yang bukan syirik (seperti tawassul, tabarruk, penghormatan ke guru, atau lain sebagainya) dituduh-tuduh sebagai perbuatan syirik.

Hati-hati di dalam menuduh syirik. Karena bukankah perbuatan syirik itu adalah kekafiran? (kalau masih ragu, silakan buka surat al-Maidah ayat 72-73 dan renungkan dengan baik). Maka siapa yang menuduh syirik berarti dia telah menuduh kafir. Sementara Rasulullah saw mengingatkan kita tentang bahaya menuduh kafir sebagai berikut:

“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya sendiri”.[HR Muslim]

Artinya, orang yang menuduh-nuduh musyrik kepada orang lain hendaknya juga merasa takut dan hati-hati jangan sampai justru dirinya yang dianggap telah syirik/musyrik oleh Allah.

Pelajari dulu ilmu tentang syirik dan tauhid dengan betul. Pikirkan dulu betul-betul sebelum Anda menuduh orang lain agar jangan sampai Anda keliru di dalam tuduhan Anda itu. Karena syirik adalah dosa besar, bahkan dosa paling besar, maka tuduhan tentangnya tentu bukanlah tuduhan yang main-main.

Baiklah. Sekarang kita terangkan apa sajakah yang termasuk syirik dan apa pula yang bukan. Mari diperhatikan dengan baik.

Yang tergolong ke dalam dosa syirik adalah hal-hal sebagai berikut:

1) menyekutukan Allah di dalam hal penciptaan

Allah lah yang telah menciptakan alam ini. Dan segala sesuatu selain Allah adalah alam. Segala sesuatu selain Allah adalah makhluk (ciptaan) Allah. Allah lah yang telah menciptakan langit, bumi, dan segala isinya, baik yang hidup maupun yang mati, yang besar maupun yang kecil, yang tampak maupun yang tidak tampak.

Dalil-dalil tentang penciptaan oleh Allah ini banyak sekali di Alquran. Salah satunya, misalnya:

“Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-An’am/6: 101)

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Albaqarah: 29)

Maka meyakini bahwa ada sesuatu yang lain yang telah menciptakan alam ini selain Allah adalah syirik.

Akan tetapi bukan syirik jika Anda misalnya ditanya oleh seseorang: “Siapa yang membuat kue ini?” lalu Anda menjawab dengan jujur: “yang membuatnya adalah istri saya”.

Kenapa bukan syirik? Bukankah tadi dikatakan bahwa yang menciptakan atau membuat segala sesuatu itu adalah Allah? Maka kue itu, tentunya juga Allah yang menciptakan atau membuatnya. Lalu kenapa bukan syirik kalau kita menjawab bahwa yang membuatnya adalah istri kita?

Nah di sinilah yang penting untuk diketahui dan dipahami. Tolong diperhatikan betul penjelasan ini karena ia akan diperlukan pula untuk penjelasan pada poin-poin berikutnya.

Perhatikanlah, saudaraku, insya Allah bermanfaat.
Secara hakikat (secara yang sesungguhnya) memang benar bahwa segala sesuatu itu Allah lah yang membuat atau menciptakannya. Termasuk kue itu. Allah pulalah sebenarnya yang telah menciptakan atau membuatnya. Tetapi ini adalah pengetahuan secara hakikat/hakiki.

Pengetahuan secara hakiki ini harus selalu diketahui dan diyakini di dalam hati. Tetapi tidak wajib untuk selalu disebut di dalam ucapan.

Manakala Allah swt menggunakan sesuatu atau seorang makhluk-Nya di dalam suatu penciptaan atau perbuatan-Nya sehingga dalam pandangan lahir/inderawi yang nampak berbuat atau melakukannya itu adalah makhluk-Nya itu, maka seseorang boleh saja mengatakan dengan mulutnya bahwa yang melakukan atau membuat sesuatu itu adalah makhluk tersebut asalkan pengetahuan secara hakikat tetap terpatri di dalam hatinya. Artinya, dia tetap meyakini bahwa sesungguhnya yang membuat kue itu adalah Allah swt. Istrinya hanya perantara saja yang diciptakan dan digerakkan oleh Allah swt untuk membuat kue tersebut. Dengan kata lain, dia harus mengetahui dan menyadari bahwa ucapannya yang mengatakan bahwa yang membuat kue itu adalah istrinya, adalah ucapan yang bernilai majazi, bukan hakiki.

Dalil tentang bolehnya kita mengucapkan kalimat yang bernilai majazi ini antara lain sebagai berikut:

“Dan (ingatlah) ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya: ‘Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah’” (QS. al-Ahzab/33: 37)

Perhatikan kalimat yang bergaris-bawah pada ayat di atas. Di situ dikatakan: “dan engkau juga telah memberi nikmat kepadanya”. Engkau di situ adalah Nabi Muhammad saw, dan yang diberi nikmat adalah Zaid bin Haritsah (anak angkat Nabi saw). Artinya, pemberian nikmat yang dilakukan oleh Nabi saw kepada Zaid itu boleh disebutkan walaupun sebenarnya itu bernilai majazi. Pada hakekatnya, tidak ada yang memberi nikmat kepada Zaid selain Allah swt. Tetapi karena pemberian nikmat ini dilakukan dengan menggunakan makhluk-Nya sebagai perantara (dalam hal ini adalah Nabi Muhammad saw) maka eksistensi makhluk-Nya sebagai pelaku itu boleh disebut, asalkan harus dipahami bahwa itu bernilai majazi.

Hubungan antara perbuatan majazi (perbuatan yang dilakukan oleh makhluk) dengan perbuatan hakiki (perbuatan Allah swt) dapat tergambar dari ayat berikut:

“... dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar ...” (QS. al-Anfal/8: 17)

Perhatikan ayat di atas. Dalam ayat tersebut terkumpul dua kalimat: kalimat majazi dan kalimat hakiki. Dalam dimensi majazi, yang melempar itu adalah engkau (makhluk). Tetapi dalam dimensi hakiki, bukan engkau (makhluk) yang melempar, melainkan Allah swt. Dan keduanya terjadi secara bersamaan/berbarengan ibarat wayang yang digerakkan oleh seorang dalang. Bukan Arjuna (wayang) yang bergerak ketika Arjuna itu bergerak, tetapi dalanglah sesungguhnya yang bergerak.

Kalau seseorang menyebut suatu makhluk sebagai pelaku, dengan tanpa memiliki ilmu dan keyakinan tentang hakekat yang sebenarnya dari apa yang diucapkannya itu, maka kalimatnya tersebut bernilai syirik. Terlebih lagi jika dia menafikan pengetahuan hakekat di hatinya, atau meyakini bahwa apa yang terlihat secara lahir itulah yang hakiki/sebenarnya, maka ucapannya itu pasti tergolong syirik.

Pandangan tauhid sesungguhnya menghendaki penafian wujud segala sesuatu selain Allah. Artinya, segala sesuatu itu harus dipandang tidak ada. Yang ada hanya Allah. Selain Allah, meskipun nampak atau terasa, harus dipandang tidak ada, atau dipandang sebagai bayangan atau citra belaka karena pada hakikatnya semua itu memang tidak ada.

Segala sesuatu itu diadakan, bukan ada. Yang  ada hanyalah Allah, dan Dia lah yang telah mengadakan segala sesuatu. Dari apa diadakan? Dari sesuatu yang tidak ada. Maka bagaimana mungkin sesuatu yang diadakan dari yang tidak ada itu dapat dikatakan ada?

Inilah pandangan tauhid. Inilah pandangan/pengetahuan hakikat (hakiki). Inilah yang sebenarnya.

Tetapi sekali lagi, pandangan tauhid ini tidak harus selalu diucapkan. Kenapa? Karena kita dihidupkan pada alam majazi. Pada alam atau dimensi majazi, yang nampak itu bukan Allah. Yang terdengar itu bukan Allah. Apalagi tidak semua orang pula di dunia ini beriman kepada Allah. Akan sulit sekali kalau di alam majazi seperti ini, kita diharuskan untuk selalu berbicara secara hakiki. Kita akan dianggap gila atau stress.

Jadi, pandangan tauhid ini cukuplah selalu berada di hati. Tidak harus selalu diucapkan.

Pandangan tauhid atau pengetahuan-pengetahuan secara hakiki itu hendaknya diucapkan pada saat-saat tertentu saja sesuai dengan momen dan kebutuhannya. Seperti sekarang ini. Kita sedang membicarakan masalah syirik. Maka tentu saja amat pantas, bahkan harus, kita buka pandangan tauhid ini. Harus kita ungkap bagaimana yang sebenarnya. Harus kita jelaskan segala sesuatu sesuai dengan ilmu dan kebenarannya.

2) menyekutukan Allah di dalam hal pengaturan dan pengurusan-Nya terhadap alam

Selain menciptakan, Allah juga mengurus dan mengatur makhluk-makhluk-Nya. Apapun di alam ini, Allah lah yang mengurus dan mengaturnya. Allah  yang mengurus dan mengatur matahari. Allah yang mengurus dan mengatur bulan. Allah yang mengatur malam dan siang. Allah yang menurunkan hujan, menghidupkan tumbuh-tumbuhan, mengalirkan sungai-sungai, menjaga laut dan isinya, memberi makan-minum semua makhluk-Nya, memberi dan mengatur rezeki mereka, dan lain sebagainya. Oleh karena itu Allah disebut Rabbul ‘alamin yang artinya: Pengatur/Pengurus seluruh alam (namun dalam Quran terjemahan, biasanya kata Rabb itu diterjemahkan sebagai Tuhan saja, mungkin demi memudahkan penerjemahan).

Dalil-dalil tentang ini amat banyak di Alquran. Salah-satunya yang paling mudah untuk dicari adalah surat al-Fatihah ayat 2:

“Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam” (QS. al-Fatihah: 2)

Maka meyakini bahwa ada sesuatu yang lain yang melakukan segala pengaturan dan pengurusan seperti tersebut di atas selain Allah, adalah syirik.

Oleh karena itu, jika engkau membutuhkan sesuatu, maka mintalah kepada Allah. Jika engkau terpaksa meminta kepada manusia, maka anggaplah manusia itu hanya sebagai perantara atau jalan saja dari Allah. Jika ada nikmat, rezeki, bantuan, atau lain sebagainya yang datang kepadamu, maka engkau harus meyakini bahwa semua itu sesungguhnya adalah dari Allah.

Akan tetapi saya ingatkan lagi di sini, bahwa tidak syirik jika misalnya seorang pasien rawat-inap ditanya oleh dokternya: “Siapa yang memberi makan kepadamu tadi siang?”. Lalu si pasien menjawab: “Ibu saya” (karena yang menyuapi dia tadi siang adalah ibunya). Dengan syarat bahwa ucapan itu dipandang sebagai ucapan majazi dan bukan hakiki (sesuai dengan penjelasan yang terdapat pada poin nomer 1).

3) Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram

Mengharamkan atau menghalalkan sesuatu adalah hak Allah semata-mata. Tidak boleh ada seorang pun yang mengambil alih hak Allah ini. Karena itu, kalau ada seseorang yang berani mengharamkan sesuatu yang Allah halalkan atau menghalalkan sesuatu yang telah Allah haramkan, maka orang itu ternilai telah berbuat syirik.

Kalau ada orang (katakanlah ia bernama si B) yang berani mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, lalu ada orang-orang yang patuh mengikuti si B dalam hal itu, maka orang-orang tersebut dianggap telah menjadikan si B itu sebagai tuhan. Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut:

“Mereka telah menjadikan para pastur dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (mereka juga telah mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali hanya menyembah Tuhan Yang Esa. tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah: 31)

Ketika ayat ini didengar oleh ‘Adiy ibnu Hatim (seorang sahabat yang asalnya Nasrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim kemudian berkata kepada Rasulullah saw: “Sesungguhnya mereka (orang-orang Nasrani) tidak menyembah para pastur dan rahib-rahib itu”.
Maksudnya, ‘Adiy ibnu Hatim ini heran, kenapa Allah memvonis bahwa orang-orang Nasrani telah menjadikan para pastur dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan padahal mereka tidak pernah menyembah para pastur dan rahib-rahib itu?
Rasulullah menjawab: “Betul. Tetapi mereka (para pastur dan rahib-rahib itu) telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menetapkan halal terhadap sesuatu yang haram, lalu mereka (orang-orang Nasrani itu) mengikutinya. Maka, itulah penyembahannya terhadap mereka” (HR. Tirmizi dan yang lainnya).

Jadi, berhati-hatilah Anda-Anda yang suka mengharamkan ini dan itu padahal Allah swt belum tentu mengharamkannya. Anda haramkan ziarah kubur, apa benar Allah mengharamkannya? Kalau alasannya demi menghindarkan orang dari syirik, apa benar setiap orang yang berziarah kubur itu pasti melakukan syirik? Jangan-jangan demi menghindarkan orang dari syirik, justru Anda sendiri yang jatuh ke dalam syirik itu karena telah mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allah swt.

Anda haramkan musik, apa benar Allah swt telah mengharamkannya? Kalau musik dan nyanyian itu pada dasarnya haram, lalu kenapa ada hadits-hadits sohih yang menggambarkan bahwa Rasulullah saw itu tidak melarang orang yang sedang melakukan musik atau nyanyian itu di dekat beliau? (silakan cari dan lihat karangan para ulama yang tidak mengharamkan musik dan nyanyian, Anda akan menemukan dalil-dalil tentang itu di sana).


<<Bisa juga Anda baca artikel berikut di blog ini (klik):

Anda haramkan orang untuk mencicipi hidangan yang diletakkan tuan rumah pada acara kenduri kematian, sudah benarkah pendapat Anda itu? Tidakkah Anda sudah terjerumus pada mengharamkan sesuatu yang halal? Mohon dicek lagi sikap-sikap Anda yang seperti itu agar jangan sampai Anda terjerumus ke dalam salah-satu bentuk dari syirik yang nomer 3 ini, yakni mengharamkan yang halal.

Pada pilkada DKI 2017 kemarin, saya juga khawatir dengan orang-orang yang telah menghalalkan memilih pemimpin yang non muslim padahal paslon yang muslim itu ada. Bukankah memilih pemimpin yang kafir itu sudah jelas-jelas Allah larang di banyak ayat al-Quran (QS.3:28, QS.3:149, QS.4:138-139, QS.5:51, dan masih banyak lagi yang lainnya)? Lalu kenapa engkau masih saja menghalalkannya? Kenapa engkau berani menghalalkan apa yang telah Allah haramkan? Tidak takutkah engkau jatuh ke lembah syirik yang merupakan dosa paling besar yang akan mengakibatkan terhapusnya seluruh amal kebaikanmu di sisi Allah? Sekali lagi saya ingatkan: menghalalkan yang haram itu juga tergolong syirik. Jadi berhati-hatilah wahai para saudaraku sekalian, dan bertaubatlah kalian benar-benar wahai orang-orang yang sudah terlanjur selagi engkau masih diberi kesempatan hidup oleh Allah swt sekarang ini.

Bersambung ke bagian 2 (klik)

(Buya Amin/Media Muslim)

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...