Thursday 29 September 2016

(Bag. 1) Islam Tidak Mengharuskan Umatnya untuk Kaya dan ...





Ya, Islam tidak mengharuskan umatnya untuk kaya dan tidak pula mewajibkan umatnya untuk miskin. Yang dituntut oleh Islam hanyalah bahwa manusia itu bertakwa (mematuhi segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya) dan berakhlak mulia dengan segala keadaan yang ada padanya. Kaya atau miskin hanyalah sebuah keadaan di antara keadaan-keadaan lainnya yang terjadi pada
manusia. Ia bebas nilai sebagaimana keadaan-keadaan yang lain. Nilai mulia dan hinanya manusia hanya boleh diukur dari tingkat ketaqwaannya kepada Allah dan bagaimana akhlak yang diterapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Demikianlah yang sesungguhnya ada pada ajaran Islam.

Bukti Bahwa Islam Tidak Mengharuskan Umatnya untuk Kaya
Sesungguhnya, tidak ada satu pun ayat atau hadits yang menyuruh umat Islam untuk kaya. Yang ada hanyalah ayat atau hadits yang menyuruh orang untuk berusaha/bekerja (menyuruh berusaha tidak berarti sama dengan menyuruh untuk kaya, karena tidak semua orang yang berusaha akan pasti menjadi kaya). Yang ada pula hanyalah ayat atau hadits yang mengatur bagaimana semestinya seseorang dalam berusaha (seperti harus jujur, tidak boleh mengurangi timbangan, tidak boleh berpraktek riba, dan lain sebagainya). Dan yang ada pula hanyalah ayat atau hadits yang mengatur atau memberi bimbingan bagaimana semestinya seseorang apabila ia kaya (seperti harus berzakat, bersedekah, membantu ini dan itu, jangan sombong, jangan bermewah-mewah, dan lain sebagainya).
Tidak ada ulama-ulama masa lalu, yang tak diragukan lagi kualitas keilmuan dan ketakwaannya, baik yang ahli tafsir maupun yang ahli hadits, yang pernah membuat suatu kesimpulan atau pernyataan bahwa Islam menyuruh umatnya untuk kaya. Silakan geledah kitab-kitab tafsir atau kitab-kitab hadits karya ulama-ulama zaman dulu tersebut, Anda tidak akan pernah mendapatkan satu pun kesimpulan atau pernyataan yang seperti itu dari mereka.
Omongan bahwa Islam menyuruh umatnya untuk kaya hanyalah kita dapati di zaman ini, zaman yang disinyalir merupakan zaman di mana ilmu agama dan ketaqwaan para manusianya telah banyak yang rusak, zaman di mana yang banyak hanyalah orang yang pandai berpidato saja sedangkan yang pantas disebut ulama sudah amat sedikit. Dari yang amat sedikit itu pun hanya sedikit pula yang patut dinilai sebagai ulama yang benar, jujur, dan saleh.
Omongan tersebut (bahwa Islam menyuruh umatnya untuk kaya) adalah tafsiran yang diada-adakan saja (atau berdasarkan akal pikiran semata saja) atas sebuah ayat atau hadits tertentu tanpa merujuk kepada pendapat ulama-ulama yang berkompeten terhadap maksud atau makna dari ayat atau hadits tersebut. Misalnya, saya pernah mendengar seseorang mengatakan dengan berapi-api di sebuah tempat pidatonya, “Islam mewajibkan umatnya untuk kaya karena Islam menyuruh umatnya untuk membayar zakat,”. Ini pendapat yang keliru. Ayat yang mewajibkan tentang zakat telah ada dari dulu dan tentunya telah amat diketahui oleh para ulama. Tapi tak pernah ada seorang ulama pun yang berbicara seperti itu ketika membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan zakat. Karena zakat tidak diwajibkan kepada semua umat Islam. Zakat hanya diwajibkan kepada orang-orang Islam tertentu yang hartanya telah memenuhi syarat-syarat tertentu pula. Ucapan seperti di atas hanya menunjukkan kebodohan atau kelancangan dan kesembronoan si pengucapnya saja tentang ajaran Islam.
Di masa Rasulullah s.a.w., ada ahli suffah. Ahli Suffah adalah tamu-tamu Islam yang terdiri dari sahabat-sahabat Nabi s.a.w. yang amat miskin. Saking miskinnya, sampai-sampai mereka sering menahan lapar karena tak memiliki sesuatu pun untuk dimakan. Bahkan tak jarang, ada di antara mereka yang tersungkur saat salat berjama’ah bersama Nabi karena tak kuat lagi menahan lapar[1]. Tapi pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk mengubah keadaan mereka yang seperti itu? Pernahkah Nabi menyuruh mereka untuk berubah menjadi kaya? Tak pernah sama sekali, Saudaraku. Justru yang ada adalah hadits yang menerangkan bahwa setelah selesai salat, Nabi saw mendekati mereka dan bersabda: “Andaikan kalian mengetahui pahala yang disediakan Allah, niscaya kalian akan meningkatkan kemiskinan dan kelaparan” (H.R. Tirmidzi. Bisa ditemukan di antaranya pada Terjemah Riyadhus Shalihin jilid I, hal. 488, penerbit Pustaka Amani-Jakarta, cet. IV, thn. 1999).
Nabi tak pernah mencela para ahli suffah yang miskin-miskin itu. Bahkan sebaliknya, beliau amat menghormati dan memuliakan mereka. Nabi sering menjamu mereka makan dan minum serta menyuruh pula para sahabat untuk menjamu mereka sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sebaliknya, para ahli suffah tersebut, meskipun mereka dalam kondisi miskin yang sedemikian rupa, mereka tetap menjaga akhlak dan kehormatan diri mereka. Mereka tidak suka meminta-minta. Mereka rido, sabar, dan tidak mengeluh atas kemiskinan mereka. Mereka juga tidak merasa minder bila bertemu dengan orang-orang kaya.
Yang patut diingat, mereka miskin pastilah bukan karena malas bekerja, tapi karena faktor-faktor lain yang dibenarkan oleh agama. Karena jika mereka malas, pastilah Rasulullah s.a.w. sudah menegur mereka karena Islam tidak membenarkan sikap kemalasan.
Selain ahli suffah, ada juga sahabat Nabi yang lain yang tergolong miskin. Abu Hurairah r.a., misalnya. Abu Hurairah mengaku, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia. Aku sering menekan rongga perutku ke tanah karena lapar. Juga sering mengikatkan batu di perutku karena lapar.” (H.R. Bukhari). “Sungguh aku pernah jatuh pingsan di antara mimbar Rasulullah s.a.w. dan jalan yang menuju ke bilik Aisyah r.a., kemudian seseorang mendatangiku dan menginjakkan kakinya ke leherku. Ia menyangka bahwa aku gila. Padahal aku tidak gila, hanya saja terlalu lapar.” (H.R. Bukhari).
Sedemikianlah keadaan miskinnya Abu Hurairah. Tapi pernahkah Rasulullah mendorong-mendorongnya untuk mengubah nasib agar menjadi kaya? Jika Islam memang menyuruh umatnya untuk kaya, niscaya akan ditemui hadits-hadits yang mendorong para ahli suffah atau orang-orang semacam Abu Hurairah untuk segera mengejar kekayaan.
Bahkan Anda—yang menyangka bahwa Islam menyuruh umatnya untuk kaya—pasti malah akan tercengang jika Anda mau menggeledah secara seksama kitab-kitab hadits Nabi saw. Mengapa? Karena ternyata banyak hadits Nabi saw itu yang isinya justru terkesan mendukung atau memuji kemiskinan. Bukan satu atau dua hadits, bukan empat atau lima, tapi baaanyak. Mungkin puluhan atau bahkan ratusan (saya belum pernah menghitungnya secara pasti).
Di antara yang banyak itu, empat hadits bisa saya cantumkan di sini:
Pertama,
Nabi saw bersabda, “Aku menengok ke surga dan aku melihat penghuninya kebanyakan orang-orang miskin” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kedua,
Rasulullah saw bersabda, “Orang-orang miskin akan masuk surga 500 tahun lebih dulu daripada orang-orang kaya.” (H.R. Tirmidzi).
Ketiga,
Nabi saw bersabda, “Aku berdiri di depan pintu surga, dan kebanyakan orang yang memasukinya adalah orang-orang miskin. Sedangkan orang-orang kaya masih ditahan, hanya saja, mereka yang termasuk penghuni neraka, telah diperintahkan untuk masuk ke neraka.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dan keempat,
Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah, tidaklah kemiskinan yang aku khawatirkan terhadap kalian. Tetapi aku khawatir jika kekayaan dunia ini dihamparkan atas kalian sebagaimana yang pernah dihamparkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian akan berlomba-lomba pada kekayaan itu sebagaimana mereka telah berlomba-lomba. Dan kemudian harta kekayaan itu akan membinasakan kalian sebagaimana ia telah membinasakan mereka pula.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Akan lebih tercengang lagi jika Anda membuka hadits-hadits yang menceritakan tentang keadaan hidup Nabi saw sendiri bersama para keluarganya. Keadaan mereka ternyata jauh dari kaya. Bahkan saya juga sangsi untuk dapat menyebutnya sederhana. Anda akan bisa menilainya sendiri nanti, apakah kehidupan Nabi itu lebih tepat untuk dibilang sederhana atau justru miskin.
Hadits yang menceritakan tentang keadaan hidup Nabi s.a.w. bersama keluarganya itu banyak, dan cukuplah saya cantumkan satu contoh saja di sini, karena artikel ini sudah cukup panjang. Keadaan hidup dan rumah tangga Nabi s.a.w.—yang saya rasa lebih pantas untuk disebut miskin—rencananya akan saya bahas dalam sebuah artikel khusus di blog ini agar lebih jelas dan gamblang.
Sebuah hadits yang menggambarkan bagaimana kemiskinan yang dialami atau dipraktekkan oleh Nabi s.a.w. bersama para keluarganya adalah sebagai berikut:
Aisyah berkata, “Keluarga Muhammad s.a.w. tidak pernah kenyang dalam dua malam berturut-turut dengan roti gandum sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain dikatakan, “Keluarga Muhammad s.a.w. tidak pernah kenyang dalam tiga malam berturut-turut dengan makanan yang terbuat dari gandum, sejak beliau menetap di Madinah sampai meninggal dunia”.
Maksud hadits tersebut di atas adalah: Nabi bersama keluarganya tidak pernah merasa kenyang dalam tiga malam berturut-turut. Dengan kata lain, dalam tiga hari berturut-turut, selalu saja ada malam di mana Rasululullah s.a.w. bersama keluarganya merasakan kelaparan karena tidak adanya sesuatu untuk dimakan. Kalaupun ada yang dimakan, makanan mereka biasanya hanyalah roti kasar yang terbuat dari gandum. Hal demikian terus terjadi selama bertahun-tahun, yaitu sejak mereka tinggal di Madinah sampai Nabi s.a.w. meninggal dunia.
Coba perhatikan, keadaan hidup yang seperti demikian di atas kira-kira lebih pantas untuk disebut miskin atau sederhana? Keadaan hidup yang dalam tiga hari berturut-turut selalu tidak lepas dari ancaman kelaparan, dan itu terjadi selama bertahun-tahun sampai beliau saw meninggal dunia, dapatkah disebut sebagai kehidupan yang sederhana, apalagi kaya?
Demikianlah di antara dalil-dalil yang membuktikan bahwa Islam tidak menyuruh apalagi mewajibkan umatnya untuk kaya. Kalau Islam menyuruh umatnya untuk kaya, maka semestinya hadits-hadits tersebut di atas, atau sejarah-sejarah hidup di atas tidak akan pernah ada dalam dunia Islam. Tapi nyatanya, semua itu ada. Hal tersebut membuktikan dengan jelas bahwa Islam tidak mengharuskan umatnya untuk kaya.
Insya Allah, akan disambung pada bagian ke-2.

Ket: 
-Rujukan utama artikel ini adalah kitab hadits Riyadus Salihin karya Imam An-Nawawi.
-Artikel ini ditulis dan disusun oleh Buya Amin.
***to be continued***




[1] Sebagaimana yang tergambar dalam sebuah hadits riwayat Tirmidzi.



No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...