Saturday 25 July 2015

Jangan Meremehkan atau Menolak Hadits Dho'if

Habib Munzir bersama Ust. Arifin Ilham
Melalui tulisan ini, saya ingin mengingatkan kepada saudara-saudara saya yang suka meremehkan hadits-hadits dho’if apalagi selalu menolaknya sama sekali agar segera bertaubat dan meninggalkan kebiasaan jelek tersebut. Sebab sikap yang barangkali selama ini Anda anggap sebagai sikap ketaqwaan itu ternyata sebenarnya justru bertentangan dengan tiga rujukan yang kita bangga-banggakan selama ini, yaitu al-Quran, hadits Nabi saw, dan sikap para ulama salafus shaleh. Dan jika sudah bertentangan dengan hal-hal tersebut,  tentunya ia pasti merupakan sebuah dosa yang tidak bisa diremehkan. Mari kita bahas lebih dalam bagaimana sikap tersebut ternyata bertentangan dengan ketiga hal besar tadi.
1.)   Bertentangan dengan al-Quran
    Perhatikanlah surat al-Hasyr ayat 7 berikut ini:

وَمَا اتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَـهَاكُمْ عَنْهُ فَانْـتَهُوْا وَاتَّـقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Apa saja yang disampaikan Rosul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa saja yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat keras hukuman-Nya.
(Q.S. al-Hasyr: 7)


     Dalam ayat tersebut terdapat perintah untuk menerima apa saja yang telah disampaikan atau diberikan oleh Rasul s.a.w. kepada para ummatnya. Hadits dho’if adalah hadits yang masih diakui sebagai hadits Rasul saw, meskipun dinilai lemah menurut kajian ilmu hadits (baik lemah pada hukum sanad periwayatnya atau lemah pada hukum matannya). Karena ia masih diakui sebagai hadits Rasul saw, maka ia tidak boleh ditolak sama sekali. Menolak sama sekali hadits dhoif, berarti telah menolak apa yang telah disampaikan atau diberikan oleh Rasul saw. Menolak apa yang telah disampaikan oleh Rasul saw, berarti telah melanggar perintah Allah swt yang terdapat pada surat al-Hasyr ayat 7 tersebut.
     Seumpama ada orang yang melarang suatu amalan sunnah dengan alasan bahwa hadits tentangnya adalah dhoif, maka berarti ia telah menolak hadits dhoif. Dengan menolak hadits dhoif, berarti ia telah menolak apa yang disampaikan Rasul saw. Menolak apa yang disampaikan Rasul, berarti telah melanggar perintah Allah dalam surat al-Hasyr ayat tujuh. Dan melanggar perintah Allah hukumnya adalah haram.
     Itulah sebabnya kenapa hadits-hadits dhoif itu masih eksis saja sampai sekarang. Itulah sebabnya kenapa para ulama-ulama besar terdahulu (seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Hanafi, Imam Nawawi, dan lain sebagainya) yang sudah sedemikian tinggi ilmunya dan sudah sangat teruji kualitas ketaqwaannya, tidak ada yang berani untuk menolak sama sekali hadits-hadits dhoif, apalagi sampai berani melarang-larang orang untuk beramal dengan alasan haditsnya dhoif. Mereka amat takut melanggar perintah Allah yang terdapat dalam surat al-Hasyr ayat 7 tersebut. Melanggar perintah Allah, meskipun hanya satu buah perintah, sesungguhnya bukanlah perkara ringan, kawan. Ia adalah perkara yang amat berat jika Allah memperhitungkannya kepada diri Anda nanti. Karena itu bertaubatlah, selagi kesempatan itu masih ada bagi anda.
     Orang yang melarang orang lain melakukan suatu amalan sunnah dengan alasan bahwa haditsnya dhoif, sesungguhnya dia telah melakukan bukan hanya satu dosa. Sekurang-kurangnya ada tiga buah dosa yang telah ia lakukan, yaitu:
a.) ia telah menolak apa yang disampaikan Rasul saw (berarti telah melanggar perintah Allah yang terdapat dalam surat al-Hasyr ayat 7 di atas),
b.) ia telah mengajak pula orang-orang lain untuk mengikuti kesalahan dirinya (seberapa banyak orang yang mengikuti kesalahannya itu, maka sebanyak itu pula dosa yang akan ia tanggung tanpa mengurangi dosa orang-orang yang telah mengikutinya tersebut), dan
c.) ia berarti telah menghalangi orang lain dari jalan kebaikan atau dari jalan Allah. Jika dalam al-Quran dinyatakan bahwa ucapan yang paling baik adalah ucapan orang-orang yang mengajak manusia ke jalan Allah, maka siapakah orang yang lebih buruk ucapannya selain daripada orang yang menghalangi manusia dari jalan-jalan Allah? Camkanlah ini saudaraku, jika anda ingin selamat. Sebab surat al-Hasyr ayat 7 tersebut diakhiri dengan ancaman-Nya: “Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah sangat keras hukuman-Nya.”
  
2.)   Bertentangan dengan hadits Nabi saw
     Ada hadits Nabi saw yang menyatakan: “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap-siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits no. 110)
     Sabda beliau saw yang lain: “Sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka ia bersiap-siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits no. 1229)
     Setelah menampilkan kedua hadits di atas, Habib Munzir al-Musawwa di dalam bukunya Kenalilah Aqidahmu (hal. 10) menyatakan sebagai berikut:

“Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan / sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw”

3.)   Bertentangan dengan sikap para ulama salaf yang shaleh
     Seperti juga telah disinggung di atas, para ulama salaf yang shaleh, yang tak diragukan lagi kualitas keilmuan dan ketaqwaannya kepada Allah swt seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Imam Abu Hanifah, tidak ada seorangpun yang meremehkan atau menolak sama sekali hadits dhoif. Karena hadits dhoif bukanlah hadits palsu (maudhu’). Ia masih diakui sebagai ucapan Rasul saw.
     Habib Munzir dalam buku yang sama menegaskan:

“...tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadits dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur

     Hadits dhoif ini banyak pembagiannya. Sebagian ulama ada yang mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian. Ada pula yang membaginya menjadi 49 bagian. Dan ada pula yang menjadikannya 42 bagian. Demi kehati-hatian, hadits dhoif memang tidak dipakai sebagai hujjah atau dalil dalam menetapkan suatu hukum (hukum wajib, halal, haram, dan sah atau batal). Namun para imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, dan inilah pendapat yang mu’tamad.
     Bahkan jumhur ulama telah sepakat untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan hadits dhoif. Contohnya, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra yang berisi bahwa Rasul saw pernah menyentuhnya lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu. Hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai landasan dalam ketentuan hukum thaharah.
     Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar menyetujui pemakaian hadits dhaif sebagai dasar untuk meningkatkan prestasi amal baik atau amal yang disunnahkan sebagaimana yang telah dinyatakan oleh para ulama dari golongan muhadditsin (ahli hadits), fuqaha (ahli hukum), dan lain-lain. Imam Nawawi pun berpendapat bahwa hadits dhoif itu lebih unggul dari pendapat siapapun[1].
     Demikianlah sikap para imam dan para ulama besar yang saleh terhadap hadits-hadits dhoif. Lalu siapakah anda, sehingga berani-beraninya meremehkan dan mencampakkan hadits-hadits dhoif. Di manakah ilmu anda jika dibandingkan dengan ilmu mereka? Seberapa dalamkah kepahaman anda tentang perkara-perkara agama jika dibandingkan dengan tingkat kepahaman mereka? Seberapakah ke-wara’an anda jika dibandingkan dengan ke-wara’an mereka? Amat jauh saudaraku, amat jauh perbandingannya. Tinggalkanlah keangkuhan anda dan ikutilah jalan mereka.
     Demikianlah kupasan ringkas kita tentang hadits dhoif ini. Semoga dapat menjadi peringatan dan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Walhamdulillahirabbil ‘alamiin. (Jakarta, Minggu, 26 Juli 2015/10 Syawwal 1436 H)


[1] Kalimat terakhir tersebut lihat di 33 Amalan Sunnah yang Dibid’ahkan, hal. 135.

No comments:

Post a Comment

Komentarnya boleh pro, boleh juga kontra. Tetapi tetap jaga etika kesopanan ya...